Membangun Keseriusan
Kesungguhan dan keseriusan seorang muslim merupakan cerminan jiwa yang telah tersiram oleh Kitabullah. Karena al-Qur”an adalah Kitab yang Haq yang tidak ada laghwu (kesia-siaan) dan juga tidak ada senda gurau di dalamnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya al-Qur”an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil, dan sekali-kali bukanlah dia sendau gurau.” (QS. 86:13-14)
Maka seorang muslim yang serius dan bersungguh-sunggah berarti dia telah berhias dan berakhlaq dengan akhlaq al-Qur”an. Seorang muslim yakin bahwa dia diciptakan bukan hanya untuk sebuah senda gurau atau main-main di muka bumi, namun dia sadar bahwa dirinya mengemban amanah yang besar, amanah yang tidak sanggup dipikul oleh langit, bumi dan gunung, sebuah pertanggungjawaban yang agung nanti di hari Kiamat. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (QS. 23:115)
Firman Allah subhanahu wata’ala yang lain, artinya,
“Sesungguhnya Kami telah mengemuka kan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. 33:72)
Keseriusan dan kesungguhan memiliki tanda-tanda dan fenomena yang amat banyak, di antaranya yaitu:
1. Ikhlash
Ikhlas merupakan salah satu pembeda yang pokok antara seorang yang bersungguh-sungguh dengan yang main-main. Orang yang tidak ikhlas, maka bisa jadi seorang munafik dan bisa jadi adalah riya”. Sedangkan orang muslim yang sesungguhnya, tidak berbuat munafik dan tidak riya”, sebab tujuannya adalah ridha Allah subhanahu wata’ala dan mengharap pahala-Nya.
2. Ittiba” (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Ini merupakan pembeda ke dua dari keseriusan seorang muslim, karena seorang muslim akan berusaha maksimal agar amal ibadahnya diterima, sedangkan suatu amal akan diterima jika memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba”ah.
Maka tidak akan ada gunanya keseriusan orang kafir dalam kekafiran mereka, ahli bid”ah dan ahwa” dalam kebid”ahan mereka dan para pengikut kebatilan dalam kebatilan yang mereka kerjakan. Keseriusan yang mereka lakukan bukan keseriusan yang sesuai syari”at yang dapat mengantarkan kepada keberuntungan dan pada hari Kiamat.
3. Adil dan Pertengahan
Serius bukan berarti ekstrim atau berlebihan, namun maknanya adalah adil dan pertengahan. Allah subhanahu wata’ala melarang dari sikap ghuluw (ekstrim), dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan bahwa ghuluw merupakan sebab kehancuran dan kerusakan. Sikap pertengahan akan dapat memelihara kelangsungan suatu amal, kontinyuitas dalam ketaatan dan menjaganya agar tidak terputus atau mengalami kebosanan.
4. Intens dalam Ketaatan
Intensif dalam melakukan ketaatan dan mengambil setiap kesempatan untuk melaksanakan berbagai bentuk ibadah, bersyukur dan berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala dan terus menambah hal itu bukan termasuk ghuluw selagi dilakukan dalam batas-batas syara”.
Sebagaimana dimaklumi bahwa iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dan mempertahankan ketaatan, membuka pintu-pintuk kebaikan dan ikut andil di dalamnya merupakan penambah keimanan sekaligus merupakan bukti dari kesungguhan seorang muslim dalam beribadah.
5. Jelas Dalam Tujuan
Seorang muslim meskipun berbeda profesi dan bermacam-macam bidang yang mereka geluti namun mereka memiliki tujuan pokok dan prinsip yang sama yakni mencari keridhaan Allah subhanahu wata’ala dan mengharap pahala di sisi-Nya. Oleh karena itu seorang muslim menjadikan seluruh aktivitasnya sebagai bentuk ibadah, wasilah dan sarana untuk mencapai tujuan pokok tersebut.
Dengan tujuan yang terpuji ini maka kita dapat menjadikan tidur, makan,minum, kesibukan dan juga waktu luang kita sebagai bagian dari ibadah yang mendapatkan pahala, jika diniatkan dengan benar ketika melakukaknnya.
6. Berkemauan Tinggi
Berkemauan tinggi merupakan ciri dari orang-orang yang serius, sebab seorang yang berkemauan tinggi tidak rela dengan kemalasan, tidak mudah bosan dan tidak suka berleha-leha. Keinginannya selalu menggiringnya kepada perkara-perkara yang tinggi dan permasalahan yang besar, maka di antara mereka ada yang tekun dalam mendalami ilmu, ada yang serius dalam beribadah, ada yang sungguh-sungguh dalam menerapkan akhlaq dan adab dan lain sebagainya. Meskipun umur mereka pendek, namun dengan keseriusan dan kesungguhan, mereka mampu berpindah dari satu kondisi ke kondisi yang lebih sempurna, dari satu kedudukan ke kedudukan yang lebih tinggi dan seterusnya hingga ajal menjemput. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. 15:99).
7. Berteman dengan Orang Serius
Salah satu hal yang dapat menjadi kan seorang muslim tetap dalam keseriusan adalah berteman dengan orang serius, karena manusia akan terpengaruh dengan teman pergaulan nya. Jika seseorang berteman dengan orang yang senang berbuat sia-sia, main-main dalam hidup, senang kepada kebatilan, menyia-nyiakan waktu, maka dia pun akan terpengaruh oleh mereka dan akan menjadi salah satu bagian dari mereka.
8. Tegar Menghadapi Masalah
Orang yang sungguh-sungguh akan tegar dalam menghadapi masalah dan dia tidak lari darinya tanpa berusaha mencari solusinya. Dia hadapi masalah dengan bijak dan tenang, dan ia jadikan itu sebagai tonggak untuk memulai sebuah langkah baru, sehingga dengan kemampuan dan pikiran yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala permasalahan akan terselesaikan dan jalan keluar dari berbagai ujian dan cobaan akan diperoleh.
Di antara yang perlu diperhatikan adalah mencari waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah, yakni waktu-waktu yang lapang dan tenang untuk dapat merenung dan mencurahkan pikiran dengan maksimal. Selain itu juga terkadang perlu untuk meminta pendapat dari pihak lain, terutama teman-teman dan sahabat yang diketahui responsif, mempunyai kemampuan berpikir dengan teliti dalam memandang suatu masalah.
9. Syamil (Universal)
Seorang muslim yang bersungguh sungguh tidak pilih-pilih dalam melaksanakan agamanya, sebagai mana hal itu diperintahkan Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya, artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya.” (QS. Al-Baqarah:208)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, ” Makna ayat ini adalah kerjakan seluruh amal perbuatan dan seluruh sisi kebaikan.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/324)
Seorang muslim tidak boleh membuang bagian dari agama Allah sekehendaknya, mengambil yang ini dan meninggalkan yang itu sesukanya. Juga bukan cermin keseriusan bila hanya mengerjakan perkara-perkara yang mudah dan enak saja lalu enggan dengan berbagai kewajiban lainnya.
10. Pantang Menunda-nunda
Seorang yang berjiwa serius pantang menunda-nunda dan pantang bersandar kepada angan-angan dusta. Tetapi dia bersegera untuk melakukan ketaatan, menyibukkan diri dengan ibadah dan aktivitas yang berguna. Dia bertaubat dan beristighfar setiap saat, sebelum dan sesudah melakukan ibadah, dan dia tidak mengatakan, “Nanti saja aku bertaubat, besok saja aku introspeksi diri dan lain sebagainya.” Dia kerjakan shalat dengan baik dan tepat waktu, membaca al-Qur”an dan merenungkan isinya dan dia tidak mengatakan, “Nanti aku akan shalat dengan baik dan banyak membaca al-Qur”an.”
11. Melihat Sirah Nabi dan Shahabat
Termasuk salah satu pendorong kesungguhan adalah dengan melihat perjalanan hidup para nabi dan shahabat sebagai manusia yang penuh dengan kesungguhan dalam hidup mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf:111)
12. Menjauhi Sikap Glamour dan Mewah
Setiap orang yang berakal sepakat bahwa nikmat itu tidak dapat diperoleh dengan leha-leha, dan kemuliaan tidak akan tercapai kecuali dengan susah payah. Maka menghindari gaya mewah dan menjauhi sikap berlebihan merupakan jalan untuk mencapai tingginya himmah (keinginan). Sebagian salaf berkata, “Ilmu itu tidak dapat diraih dengan bersantai-santai.”
Sumber: Buku “Al Jiddiyah, Thariqul Khairiyah” Khalid Abu Shalih (Abu Ahmad/alsofwah)